Kelas Online Mr.BOB Kampung Inggris - Kalau kamu sering scroll media sosial kayak TikTok, Instagram, atau X (Twitter), pasti udah nggak asing sama gaya ngomong anak muda zaman sekarang yang campur-campur antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Contohnya kayak, “Aku literally nggak bisa deh kalau dia kayak gitu,” atau “That’s so cringe banget.”
Buat kamu yang penasaran sama istilah-istilah gaul dalam bahasa Inggris yang sering dipakai anak muda, coba deh baca artikel 20 Slang Bahasa Inggris Hits Anak Muda biar kamu nggak ketinggalan tren dan makin paham makna di balik kata-kata yang sering muncul di media sosial.
Fenomena ini sekarang udah jadi hal yang super umum di kalangan Gen Z. Nggak cuma di dunia maya, tapi juga dalam obrolan sehari-hari. Nah, sebenarnya kenapa sih anak muda zaman sekarang suka banget ngomong campur Inggris-Indonesia? Terus, ini tuh termasuk hal yang keren dan adaptif, atau malah tanda kalau kemampuan Bahasa Indonesia mulai luntur?
Yuk, kita bahas lebih dalam soal tren komunikasi khas Gen Z ini!

Sebenarnya, ngomong campur bahasa alias code-switching bukan hal baru. Dari dulu, orang Indonesia udah sering nyampur bahasa daerah sama Bahasa Indonesia, contohnya kayak orang Jawa yang ngomong, “Aku lho udah bilang dari kemarin.” Nah, bedanya, dulu campurannya antarbahasa lokal, sekarang campurannya antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Masuknya budaya global, internet, dan media sosial bikin Bahasa Inggris jadi makin dekat sama kehidupan sehari-hari. Mulai dari film, lagu, game, sampai konten-konten edukasi di YouTube atau TikTok, semua sering pakai bahasa Inggris. Jadi, wajar aja kalau akhirnya banyak kata atau frasa Inggris yang “nyelip” di percakapan kita.
Gen Z tumbuh di era digital yang semuanya serba cepat, serba online, dan serba global. Mereka nonton film dari Netflix, denger lagu dari Spotify, baca berita dari platform internasional, dan belajar dari YouTube. Dari situ, mereka terbiasa dengan istilah-istilah Inggris kayak literally, vibe, cringe, mood, atau flex.
Selain itu, banyak juga influencer dan konten kreator yang ngomong dengan gaya campur bahasa, entah karena biar terdengar lebih ekspresif atau biar “nyatu” sama tren global. Ketika konten kayak gini viral, otomatis gaya bahasanya ikut nyebar. Jadi semacam cultural contagion gaya bicara yang menular lewat internet.
Buat sebagian besar Gen Z, ngomong campur Inggris-Indonesia bukan cuma soal komunikasi, tapi juga self-expression. Kadang, kata atau frasa dari Bahasa Inggris dianggap lebih “pas” buat menggambarkan perasaan atau situasi tertentu.
Misalnya, bilang “I’m so done” kadang terasa lebih ekspresif dibanding “Aku udah capek banget.” Atau, “That’s not the vibe” kedengarannya lebih ringkas dan berkarakter dibanding “Suasananya nggak enak.”
Selain itu, penggunaan Bahasa Inggris juga sering diasosiasikan dengan kesan smart, confident, dan modern. Bukan berarti semua orang yang ngomong campur bahasa pengen keliatan keren, tapi nggak bisa dipungkiri kalau faktor “gaya” juga berperan besar.
Gaya ngomong campur ini sebenarnya bisa dilihat sebagai bentuk adaptasi terhadap dunia global. Gen Z hidup di zaman yang batas antara lokal dan internasional udah makin kabur. Mereka bisa ngobrol dengan teman dari luar negeri lewat Discord, nonton konten luar negeri, bahkan kerja freelance buat klien dari negara lain.
Jadi, kemampuan buat switch antara dua bahasa justru jadi keunggulan. Ini nunjukin fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi mereka. Bahasa campur bukan berarti kehilangan identitas, tapi justru bentuk identitas baru—identitas global yang tetap punya rasa lokal.

Daftar Trial Class Online Mr.BOB Kampung Inggris, disini.Â
Walaupun keren dan kekinian, nggak sedikit juga yang khawatir fenomena ini bisa bikin kemampuan Bahasa Indonesia menurun. Banyak anak muda yang akhirnya lebih familiar sama istilah Inggris dibanding padanan katanya dalam Bahasa Indonesia.
Misalnya, kata relate lebih sering dipakai daripada “terkait,” support lebih umum daripada “dukungan,” atau cringe lebih populer daripada “malu-maluin.” Akibatnya, kosakata Bahasa Indonesia bisa makin jarang dipakai dalam konteks informal.
Kalau dibiarkan terus, bisa aja generasi berikutnya jadi kesulitan menulis atau berbicara dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama dalam konteks akademik atau profesional. Ini jadi tantangan besar buat dunia pendidikan dan budaya bahasa ke depan.
Satu hal menarik dari gaya komunikasi Gen Z ini adalah bahwa mereka nggak pakai campuran bahasa sembarangan. Biasanya, mereka tahu kapan harus ngomong formal dan kapan bisa bebas. Misalnya, pas ngobrol santai di chat atau di media sosial, mereka bebas pakai bahasa campur. Tapi kalau nulis tugas kampus atau kerja, mereka bisa tetap pakai bahasa formal.
Artinya, ini bukan tanda mereka nggak bisa Bahasa Indonesia, tapi justru tanda mereka paham konteks penggunaan bahasa. Dalam ilmu linguistik, kemampuan kayak gini disebut sociolinguistic awareness kesadaran sosial dalam menggunakan bahasa sesuai situasi.
Menariknya, gaya ngomong campur Inggris-Indonesia juga pelan-pelan mulai masuk ke dunia kerja, terutama di industri kreatif, startup, dan teknologi. Banyak istilah kerja yang nggak punya padanan tepat dalam Bahasa Indonesia, jadi akhirnya tetap dipakai dalam bahasa aslinya, kayak deadline, meeting, brainstorming, atau content planning.
Bahkan dalam komunikasi internal, banyak perusahaan yang menggunakan mix language karena dianggap lebih efisien dan lebih sesuai dengan istilah global. Jadi, buat sebagian konteks, gaya campur ini justru jadi nilai tambah, bukan masalah.
Kalau dipikir-pikir, bahasa memang selalu berubah seiring waktu. Bahasa yang kita pakai sekarang pun hasil dari perkembangan panjang. Kata “televisi,” “internet,” atau “handphone” dulu juga dianggap asing, tapi sekarang udah jadi bagian dari keseharian.
Hal yang sama bisa terjadi dengan tren campur bahasa ini. Bisa jadi ke depan, beberapa kata Inggris yang sering dipakai akan dianggap biasa dan akhirnya resmi masuk ke KBBI. Jadi, perubahan bahasa bukan sesuatu yang harus ditakuti, asal penggunaannya tetap pada tempatnya.
Ngomong campur Inggris-Indonesia sebenarnya bukan masalah selama kita tetap punya kemampuan dasar berbahasa Indonesia yang baik. Campur bahasa bisa jadi ekspresi diri, tanda keterbukaan, dan bentuk adaptasi terhadap zaman global. Tapi di sisi lain, kita juga perlu tetap menghargai dan melestarikan bahasa sendiri.
Kuncinya ada di keseimbangan: kapan waktunya pakai gaya santai dan kapan harus formal. Dengan begitu, kita bisa tetap relate sama tren global tanpa kehilangan akar bahasa kita sendiri.

Fenomena Gen Z yang ngomong campur Inggris-Indonesia mencerminkan dinamika bahasa di era digital. Di satu sisi, ini menunjukkan kreativitas, fleksibilitas, dan kemampuan adaptasi mereka terhadap dunia global. Tapi di sisi lain, tetap ada tanggung jawab untuk menjaga Bahasa Indonesia agar nggak “tenggelam” di tengah derasnya arus budaya luar.
Bahasa itu hidup dan terus berubah. Jadi, selama perubahan itu bikin komunikasi jadi lebih efektif tanpa menghapus jati diri, nggak ada salahnya ngomong campur bahasa. Yang penting, tetap tahu kapan dan di mana gaya itu digunakan.
Kalau kamu mau belajar materi bahasa Inggris lainnya, langsung aja cek artikel lain di website Kelas Online Mr.BOB Kampung Inggris. Biar nggak ketinggalan tips belajar seru tiap hari, jangan lupa follow Instagram dan TikTok kami, ya! Kalau masih bingung soal materi bahasa Inggris, kamu juga bisa konsultasi langsung lewat WhatsApp kami.
Baca Juga: 20 Istilah Bahasa Inggris yang Sering Dipakai Anak Jaksel, Kamu Tahu?